Jumat, 10 Mei 2013

BIODATAKU

Nama lengkap                 :      Nur Nisrina Hanif Rifda
Tempat,Tanggal Lahir       :     Bojonegoro,28 April 2003
Alamat                             :     Ds.Bulu Dsn.Bangkle RT 11 RW 03
                                              Kec.Balen Kab.Bojonegoro   62182
Kelas                               :     6 (saat biodata ini ditulis)
Sekolah                           :     MIM 8 Bulu
Hobby                             :     Baca Buku,Nulis cerita
Cita cita                           :     Penulis
E-mail                             :      hanifrifda@gmail.com
Facebook                       :      Nur Nisrina Hanif Rifda
Makanan favorit              :      Mie Ayam,Bakso
Minuman favorit              :      Es Blewah
Negara Impian                :      Jepang,Hongkong...
Warna favorit                  :      Biru muda
Tempat kesukaan            :      Perpustakaan,Toko Buku
Kata Mutiara                  :      Cita cita itu selayaknya bayangan yang ada di dalam cermin.Kita takkan
                                             mampu menggapainya.Tapi,jika Kita berani bermimpi,pasti akan mampu
                                             menggapainya..

CORETANKU


ASAL USUL PELANGI
Oleh : Nur Nisrina Hanif Rifda

Dahulu kala, hiduplah Seorang Kepala Desa yang memiliki 7 orang putri.  Ketujuh putri tersebut sangatlah cantik dan baik hatinya. Tujuh putri tersebut bernama Putri Merah, Putri Jingga, Putri Kuning, Putri Hijau, Putri Biru, Putri Nila dan Putri Ungu. Mereka pun lembut tutur katanya.
Di Suatu hari, desa tersebut dilanda paceklik. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Sawah-sawah warga dilanda gagal panen, sumber-sumber air kering dan mengakibatkan ikan-ikan mati menggelepar. Pohon-pohon mati meranggas karena teriknya matahari.
Melihat keadaan itu, Putri Merah ingin mengajak adik-adiknya untuk pergi ke tempat rahasia mereka. Tempat rahasia ini merupakan sebuah ladang ajaib, dimana tumbuhan tidak pernah kering dan mata air selalu tersedia.
“Kakak, kita harus menolong warga disini.. Kasihan mereka..” Ujar Putri Nila sambil menerawang jauh keluar jendela.
“Adinda, sebaiknya kita menuju ke ladang saja ya” Sahut Putri Merah.
Ketujuh putri pun berjalan mengendap-ngendap menuju halaman belakang rumah. Baru saja mereka melangkahkan kaki keluar kamar, Sang Ayah menegur mereka.
“Mau kemana, anak-anakku?” Tanya Sang Kepala Desa yang merupakan ayah mereka.
“Hendak ke halaman belakang Ayah”. Jawab Putri Hijau mewakili saudara-saudaranya.
“Kalian harusnya istirahat. Biarlah Ayah yang mengurus semuanya”. Ujar Kepala Desa. Terpaksa, ketujuh Putri tersebut mengangguk dan berbalik menuju kamar. Putri Ungu yang kini berjalan paling depan, didorong oleh saudara-saudaranya yang lain.
Di kamar, mereka berembuk lagi. Sebelumnya, Putri Hijau telah mengunci pintu untuk mengantisipasi kalau-kalau ada yang datang secara tiba tiba.
“Lebih baik kita istirahat dulu”. Ujar Putri Merah. Adik-adiknya memang capek karena semalam, mereka begadang untuk berkeliling desa dan membagikan bahan makanan. Tapi, berapapun bahan makanan yang tersedia, warga tetap kesulitan karena tidak mendapat air untuk merebus makanan mentah tersebut.
Putri Biru naik ke kasurnya yang ada di tingkatan ke-5. Putri Biru terlelap. Dalam tidur, ternyata ketujuh Putri itu memimpikan hal yang sama. Intinya, jika mereka ingin membebaskan warga desa dari paceklik, mereka harus pergi ke Sungai Pelangi yang letaknya di ujung desa melewati hutan. Mereka harus memakai selendang dan baju yang sesuai dengan nama mereka pada saat matahari bersinar terang.
Serentak, ketujuh putri tersebut bangun bersamaan. Mereka terkejut karena mendapat mimpi yang sama.
“Kita harus segera ke sungai itu...SEKARANG!”. Seru Putri Jingga. Saudara-saudaranya mengangguk setuju. Dengan cepat, mereka memakai baju dan selendang yang sesuai dengan nama mereka. Serta merta ketujuh putri itu berlari ke Sungai Pelangi. Menerobos hutan dan semak semak belukar yang berduri. Hingga sampai ke Sungai Pelangi.
Ketujuh Putri itu mengobati sebentar luka-luka di tubuh mereka menggunakan dedaunan sirih. Tiba tiba, Putri Ungu mendongakkan kepala. Kemudian berkata.
“Kakak-kakakku, sebagai adik terkecil, Adinda Ungu meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan Adinda jika memang inilah detik detik terakhir kita di bumi ini”. Ujar Putri Ungu serta memeluk keenam Kakaknya.
“Adinda Biru juga meminta maaf”. Kata Putri Biru pula.
Mereka saling melepaskan pelukan dan segera berlari ke arah batu cadas tertinggi di tengah sungai. Rambut dan selendang mereka berkibar-kibar tertiup angin. Penduduk Desa berduyun-duyun datang untuk mencegah ketujuh Orang putri tersebut.
Kepala Desa berlari terseok-seok untuk menemui Putri putrinya.
“Anak-anakku, pasti ada cara lain untuk mengatasi paceklik di desa ini tanpa harus mempertaruhkan nyawa kalian.. Cukuplah Ayah kehilangan Ibu, tapi Ayah tidak mau kehilangan kalian..”. Ujar kepala Desa sambil berurai air mata. Jemarinya erat melingkar di pergelangan tangan Putri Ungu.
“Ayah, inilah jalannya..”, Putri Ungu menepis tangan ayahnya dengan halus.
Matahari mengeluarkan sinarnya lebih terang. Sinarnya begitu menyilaukan hingga kepala desa dan warga mundur menepi di bibir sungai. Kilau sang mataharipun memantul ke arah air sungai kemudian memantul lagi ke arah tujuh orang putri tersebut. Ketujuh putri itu melambaikan tangan dan berubah menjadi tujuh berkas cahaya berkilauan di langit. Sungai Pelangi yang memang sudah berisi air sedikit, mulai terisi penuh air dengan sendirinya. Kepala Desa menangis berlutut menatap cahaya-cahaya melengkung di atas sana. Dari kejauhan, dia seakan mampu melihat senyuman dari putri-putri kesayangannya yang kini telah pergi.
Hingga akhirnya, warga desa memberi nama kilau-kilau cahaya itu dengan nama Pelangi. Karena peristiwa tersebut terjadi di Sungai Pelangi..

THE END